Palangka Raya, Newsinkalteng.co.id – Pemilihan Umum atau Pemilu memang sering disebut sebagai pesta demokrasi karena merupakan momen di mana rakyat dapat secara langsung memilih wakil-wakilnya dalam pemerintahan. Pada dasarnya, pemilu memang seharusnya menjadi momen kegembiraan dan kesenangan bagi masyarakat, karena mereka memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam menentukan masa depan negara mereka.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam beberapa kasus, pemilu juga dapat menyebabkan ketegangan dan konflik. Hal ini bisa terjadi karena adanya persaingan yang sengit antara kandidat dan pendukungnya, serta perbedaan pandangan politik di masyarakat. Selain itu, pemilu juga dapat menjadi ajang politisasi identitas dan penyebaran konten hoaks yang dapat memicu konflik di antara masyarakat.
Sehingga berbicara tentang kewaspadaan dan kesiapan terhadap potensi konflik atas kemungkinan hasil Pemilu 2024, Himpunan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Universitas Palangka Raya (UPR), mengadakan Kuliah Umum mengenai Kedaruratan dan Pemilu 2024: Potensi Konflik Hasil Pemilu 2024, Jumat (22/9) sore, di Aula Rahan, UPR. Kegiatan ini dihadiri oleh 400 orang mahasiswa-mahasiswi baik dari UPR maupun dari kampus-kampus luar lainnya.
Hakim Mahkamah Konstitusi Dr. Daniel Yusmic P. FoEkh, SH. MH. bersama dengan Dr. Andrie Elia Embang dari Jurusan Sosiologi UPR dan AKBP Yoyo Riswandi dari Bidang Intelkam Polda Kalimantan Tengah, menjadi para pembicara.
Menurut Dr. Daniel Yusmic FoEkh bahwa tugas mengadili gugatan atas hasil Pemilu merupakan ranah peradilan Mahkamah Konstitusi (MK) menurut Undang-undang. Selain dari tugas lainnya menghakimi sengketa antara lembaga negara dan pengujian materil atas produk hukum perundang-undangan berdasarkan konstitusi.
Sedangkan menurut pembicara Dr. Andrie Elia bahwa seharusnya tidak perlu ada konflik jika berbicara Pemilu.
Ketidaksiapan untuk menang atau kalah dalam kontestasi Pemilu merupakan sikap yang harus dihindarkan sejak awal.
Sementara itu dari Kepolisian sendiri, AKBP Yoyo yang perlu dipantau adalah relawan-relawan dari para Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden. Domainnya di pusat Jakarta tetapi dampaknya bisa sampai di daerah-daerah. Menurut regulasi Kepolisian mengawasi soal-soal politisasi identitas dan ancaman terhadap keutuhan berbangsa dan bernegara.
Pengamatan dan pengawasan terhadap provokasi di media sosial juga menjadi tugas Kepolisian. Terutama yang mengandung ujaran kebencian dan penyebaran konten hoaks. Akan dicegah jika terjadi peningkatan eskalasi konflik antara para relawan dan buzzers. Selain itu Kepolisian melakukan cipta kondisi untuk memberikan informasi yang berimbang dan faktual.
AKBP Yoyo Riswandi mengharapkan peran serta mahasiswa-mahasiswi untuk turut mengawasi jalannya Pemilu dan menghindarkan terjadinya tindak money politics. Mahasiswa harus juga menetralisir di tingkat masyarakat ketika ada tindak disinformasi dan penyebaran isu-isu SARA dan politik identitas.
Mahasiswa-mahasiswi yang bertanya kepada para pembicara adalah peran partisipasi masyarakat yang masih rendah pada Pemilu dan soal Undang-undang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) terhadap pelanggaran pidana Pemilu.
Dr. Andrie Elia menyebutkan bahwa pendidikan politik itu perlu lebih digencarkan pada masyarakat supaya jangan berpolitik money politics. Memilih karena dibayar oleh calon-calon tertentu. Hal seperti ini yang harus dientaskan. Terutama mahasiswa sendiri juga harus ikut memilih bukan apatis. Menurut catatan Andrie bahwa dari 19 ribu mahasiswa UPR pada Pemilu 2019 hanya ada 4000-an yang memilih. Ini jangan lagi seperti ini ke depan.
Tugas MK itu menurut Hakim Mahkamah Konstitusi, Dr. Daniel Yusmic adalah juga melindungi hak-hak konstitusional warga masyarakat. Maka terbuka kesempatan untuk melakukan pengujian formal dan material terhadap UU tersebut. Kalau itu dipandang merugikan hak-hak konstitusi maka UU tersebut dapat dibatalkan.[Hlm/Red]